Senin, 01 Maret 2010

Teori Tes Klasik

Teori Tes Klasik

(Kamis, 08 November 2007)


Salah satu teori pengukuran yang tertua didunia pengukuran behavioral adalah classical true-score theory. Teori ini dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan teori tes klasik. Teori tes klasik merupakan sebuah teori yang mudah dalam penerapannya serta model yang cukup berguna dalam mendeskripsikan bagaimana kesalahan dalam pengukuran dapat mempengaruhi skor amatan.

Inti teori klasik adalah asumsi-asumsi yang dirumuskan secara sistematis serta dalam jangka waktu yang lama. Dari asumsi-asumsi tersebut kemudian dijabarkan dalam beberapa kesimpulan. Ada tujuh macam asumsi yang ada dalam teori tes klasik ini. Allen & Yen (1979: 67 - 60) menguraikan asumsi-asumsi teori klasik sebagai berikut :
Asumsi pertama teori tes klasik adalah bahwa terdapat hubungan antara skor tampak (observed score) yang dilambangkan dengan huruf X, skor murni (true score) yang dilambangkan dengan T dan skor kasalahan (error) yang dilambangkan dengan E. Menurut Saifuddin Azwar (2001: 30) yang dimaksud kesalahan pada pengukuran dalam teori klasik adalah penyimpangan tampak dari skor harapan teoritik yang terjadi secara random. Hubungan itu adalah bahwa besarnya skor tampak ditentukan oleh skor murni dan kesalahan pengukuran. Dalam. bahasa matematika dapat dilambangkan dengan X = T + E.
Asumsi kedua adalah bahwa skor murni (T) merupakan nilai harapan є (X). Dengan demikian skor murni adalah nilai rata-rata skor perolehan teoretis sekiranya dilakukan pengukuran berulang-ulang (sampai tak terhingga) terhadap seseorang dengan menggunakan alat ukur.
Asumsi ketiga teori tes klasik menyatakan bahwa tidak terdapat korelasi satu dengan yang lain antara skor mumi dan skor pengukuran pada suatu tes yang dilaksanakan ( = 0). Implikasi dari asumsi adalah bahwa skor murni yang tinggi tidak akan mempunyai error yang selalu positif ataupun selalu negatif.
Asumsi keempat meyatakan bahwa korelasi antara kesalahan pada pengukuran pertama dan kesalahan pada pengukuran kedua adalah nol ( = 0). Artinya bahwa skor-skor kesalahan pada dua tes untuk mengukur hal yang sama tidak memiliki korelasi (hubungan). Dengan demikian besarnya kesalahan pada suatu tes tidak bergantung kesalahan pada tes lain.
Asumsi kelima menyatakan bahwa jika terdapat dua tes untuk mengukur atribut yang sama maka skor kesalahan pada tes pertama tidak berkorelasi dengan skor murni pada tes kedua ( ). Asumsi ini akan gugurjika salah satu tes tersebut ternyata mengukur aspek yang berpengaruh terhadap teradinya kesalahan pada pengukuran yang lain.
Asumsi keenam teori tes klasik adalah menyajikan tentang pengertian tes yang pararel. Dua perangkat tes dapat clikatakan sebagai tes-tes yang pararel jika skor-skor populasi yang menempuh kedua tes tersebut mendapat skor murni yang sama ( T = T' )dan varian skor-skor kesalahannya sama ( ). Dalam prakteknya, asumsi keenam teori ini sulit terpenuhi.
Asumsi terakhir dari teori tes klasik menyatakan tentang definisi tes yang setara (essentially equivalent). Jika dua perangkat tes mempunyai skor-skor perolehan dan yang memenuhi asumsi 1 sampai 5 dan apabila untuk setiap populasi subyek X1 = X2 + C12, dimana C12 adalah sebuah bilangan konstanta, maka kedua tes itu disebut tes yang pararel.
Asumsi-asumsi teori klasik sebagaimana disebutkan di atas memungkin untuk dikembangkan dalam rangka pengembangan berbagai formula yang berguna dalam melakukan pengukuran psikologis. Daya beda, indeks kesukaran, efektifitas distraktor, reliabilitas dan validitas adalah formula penting yang disarikan dari teori tes klasik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar